ANTROPOLOGI
DAN HUKUM
A. Antropologi Dan Hukum
Ada suatu suku di liberia, bernama suku
Gola, yang mempunyai pemeo mengenai hukum sebagai berikut : “ Hukum itu laksana
bunglon, dia berubah bentuk pada tempat yang berbeda dan hanya dapat dikuasai
oleh mereka yang mengetahui seluk-beluknya.” Pemeo itu dapat disejajarkan
dengan pandangan yang terdapat juga pada sementara ahli hukum di barat yaitu
bahwa hukum itu tidak mempunyai materi yang khusus, melainkan selain itu
sendiri. Kalau memang hukum itu dapat berubah-ubah seperti bunglon, dan seluas
kehidupan, maka dalam keseluruhannya hukum itu tidaklah dapat dikuasai oleh
orang yang manapun, dan malahan oleh profesi apapun. Maka diperlukan berbagai
cabang keahlian untuk mendalaminya, untuk memahami dan menerapkannya. Para ahli
tersebut dapat dibagi dalam dua golongan besar. Golongan pertama adalah mereka
yang mendalami hukum dalam hubungan dengan kelakuan manusia, dan yang kedua
memperhatikan segi intelektual dan segi
filosofis dari hukum. Yang kedua meliputi mereka yang mempelajari ilmu hukum,
sejarah dan cara-cara pemerintahan dan juga sarjana antropologi yang
mengkhususkan diri pada pendalaman cara-cara memcahkan sengketa yang dikenal
oleh berbagai bangsa dibumi kita ini dan bagaimana mereka mepertahankan paling
kurang satu tata politik.
Ahli hukum tampil pada waktu pihak-pihak
yang berselisih mengenai hak-haknya dan malahan berselisih mengenai cara
berlaku yang pantas. Para ahli hukum, pengacara dan hakim memecahkan
kasus-kasus persengketaan. Sesuai dengan hukum tertulis atau tidak tertulis,
dan sesuai dengan nilai-nilai yang lebih mendasar sifatnya, yang dianut dalam
suatu masyarakat tertentu. Mereka bersama dengan banyak orang lain dalam
masyarakat, berusaha untuk membatasi sebanyak mungkin pengaruh buruk dari
gangguan yang terjadi akibat adanya sengketa dan kesukaran. Mereka jugalah yang
merupakan penjaga nilai-nilai moral yang paling dasar dan prinsip-prinsip etis yang
terdapat dalam kebudayaan yang bersangkutan. Dan seperti halnya dengan
ahli-ahli yang bertugas menangani hal-hal yang berhubungan dengan moral, maka
sering, mereka dicurigai. Ilmu hukum, dan antorpologi hukum, masing-masing
dengan caranya sendiri, juga mempelajari hukum seperti halnya pengacara dan
hakim. Namun mereka itu, tidaklah menghasilkan pengetahuan yang diterapkan
manusia karena mereka hendak memahami cara masyarakat mempertahankan
nilai-nilai dasar yang dianutnya dan
juga mengubah nilai-nilai tersebut.
Dengan demikian para sarjana antropologi
hukum itu pertama-pertama perlu memperhatikan dua hal : ia harus menemukan
dahulu, apa yang menurut ucapan suatu bangsa merupakan hal-hal yang pantas
mereka lakukan. Dia akan menemukan bahwa ada bangsa yang sangat ketat menuntut
dari warganya untuk berlaku menurut hal-hal yang digariskan dan ada bangsa yang
lebih longgar, atau tidak terlalu ketat ; ada bangsa yang mempunyai norma
tingkah laku yang tinggi ; ada pula yang mempunyai norma yang sama tapi tidak
membuat tuntutan yang hampir sama. Ahli hukum dan ahli antorpologi hukum lebih
banyak mempertahankan pranata-pranata yang ada dalam masyarakat, bagaimana
masyarakat merumuskan pelanggaran terhadap hukum. Kalau di hubungkan hal ini
dengan pemeo yang ada, maka pemeo orang gola menunjuk pada hukumnya para
praktisi. Memang hukum dalam arti berbeda dari satu kebudayaan lain,
sebagaimana bunglon. Sedangkan ucapan kedua yang mengatakan bahwa hukum adalah
seluas hidup itu sendiri, menunjuk kepada segi dari hukum yang dipelajari oleh
golongan disiplin kedua.
Dengan demikian ahli hukum dan ahli
antropologi hukum tidaklah mendekati hukum yang berujud bunglon itu dari segi
warnanya yang bisa berubah itu dan juga tidak mempelajari kemampuannya untuk
dapat menyesuaikan warnanya dengan sekitarnya. Ahli hukum dan antropologi hukum
mempelajari struktur bunglon itu, tulang-belulangnya, sistem peredaran
darah dan mekanisme yang memungkinkan dia dapat berubah warna, dan bersatu
dalam moralitas-moralitas.
Bila diperhatikan jenis masyarakat,
termasuk yang masih sangat sederhana maka pranata melawan pelanggaran norma yang paling umum adalah “ pertahanan
diri”, “bela diri”. Dalam batas tertentu, maka setiap orang yang dilanggar
wewenangnya, haknya pada umumnya oleh masyarakat diberi izin untuk memperbaiki
hak / wewenangnya yang dilanggar. Dalam semua sistem modern, menjaga diri
terhadap pencuri misalnya, adalah sesuatu yang diserahkan kepada perseorangan.
Namu ada batas-batas dari penggunaan prinsip “ bela diri” ini. Bila ada suatu
sistem polisi yang teratur, maka batas-batas dari wewenang “bela diri” itu
dapat ditentukan secara lebih jelas dibandingkan dengan kalau sistem polisi itu
tidak ada atau tidak kuat.
Suatu jenis tindakan balasan sosial yang
lain terhadap pelanggaran norma ialah cara penyelasaian melalui pertandingan,
yang terdapat di berbagai daerah dibumi ini. Contohnya yaitu perkelahian
gladiator, dan cobaan atau ujia berat ( ordeal ). Sering juga diberi julukan
bahwa pengadilan menyerupai situasi permainan atau situasi pertandingan. Satu
bentuk tindakan balasan lain adalah rapat umum. Cara penyelesaiannya melalui
rapat umum berbeda sekali dibandingkan dengan pengadilan. Pengadilan adalah
badan khusus, yang tugasnya telah ditentukan dalam suatu sistem politik yang
stabil. Tugasnya adalah menyelesaikan sengketa. Rapat umum tidak merupakan
badan khusus, tetapi merupakan pertemuan dari para warga setempat.
Bila suatu tindakan sosial yang bersifat
reaktif terjadi, maka sudah pasti bahwa suatu norma hukum dari masyarakat yang bersangkutan
dilanggar. Tindakan balasan seperti yang diuraikan, yang meliputi pengadilan,
dan sistem polisi, adu kekuatan dari gladiator seperti zaman romawi, ujian atau
cobaan berat, rapat desa atau rapat dari masyarakat setempat, dan bela diri,
adalah suatu cara yang dapat ditempuh untuk mulai menentukan suatu situasi
sebagai situasi hukum. Bila tindakan balasan berhasil, tindakan itu kemudian
diikuti oleh apa yang dinamakan “koreksi”. Perkataan koreksi mempunyai arti
ganda yang cocok untuk digunakan bagi hal yang dimaksud, karena memang ada dua
cara untuk mengadakan koreksi terhadap suatu tindakan penyelewengan norma.
Pertama : orang yang melakukan pelanggaran, diwajibkan untuk melakukan tindakan
sehubung dengan norma yang dilanggarnya, sesudah hal itu dilakukan, maka
masyarakat setempat dapat berlaku seolah-olah pelanggaran itu terjadi. Cara
koreksi dalam arti penjara, maka arti kedua inilah yang dimaksud. Dengan
demikian kata koreksi itu sendiri berarti mengembalikan kepada situasi semula (
restitusi ) dan bila tidak mungkin, maka semacam pembayaran kembali ( retribusi
) harus dilakukan.
Ketiga tindakan sosial itulah yang
menimbulkan perilaku hukum dalam setiap masyarakat : pertama pelanggaran norma
atau ukuran baku bagi perilaku, kemudian tindakan balasan dan akhirnya koreksi.
Para ahli hukum, para sarjana yang mendalami ilmu hukum dan ahli antorpologi
semuanya mempelajari rentetan itu, tetapi mereka melakukannya untuk tujuan yang
berdasarkan dan dengan cara yang agak berlainan. Para ahli antropologi hukum
menganggap bahwa data untuk pelajarannya adalah norma yang ada dan tindakan
yang merupakan lingkaran norma itu.
Hukum itu memang mirip
bunglon bila diperhatikan bahwa dia terdapat di berbagai masyarakat dan dia
mengambil bentuk dan isi menurut kebutuhan masyarakat dimana dia berlaku. Namun
dibawah kulit bunglon yang berubah-ubah terdapat sesuatu yang merupakan inti
yang tidak berubah. Sifatnya yang bisa berubah itu justru merupakan sifat yang
paling penting dan merupakan kekuatannya. Dari hukum itu walaupun beragam wajah
penampilannya di berbagai masyarakat, yang paling penting untuk diperhatikan
oleh ahli antorpologi hukum ialah
bagaimana caranya suatu masyarakat
menangani perselisihan dan kasus-kasus pertikaian. Artinya melihat bagaimana
caranya lembaga-lembaga atau pranata yang berhadapan dengan
penyelewengan-penyelewengan diorganisasikan sehingga penyimpangan dapat
dikendalikan atau dibendung.
0 komentar:
Posting Komentar