Minggu, 17 Maret 2019

ANTROPOLOGI DAN HUKUM



ANTROPOLOGI DAN HUKUM
A.     Antropologi Dan Hukum
Ada suatu suku di liberia, bernama suku Gola, yang mempunyai pemeo mengenai hukum sebagai berikut : “ Hukum itu laksana bunglon, dia berubah bentuk pada tempat yang berbeda dan hanya dapat dikuasai oleh mereka yang mengetahui seluk-beluknya.” Pemeo itu dapat disejajarkan dengan pandangan yang terdapat juga pada sementara ahli hukum di barat yaitu bahwa hukum itu tidak mempunyai materi yang khusus, melainkan selain itu sendiri. Kalau memang hukum itu dapat berubah-ubah seperti bunglon, dan seluas kehidupan, maka dalam keseluruhannya hukum itu tidaklah dapat dikuasai oleh orang yang manapun, dan malahan oleh profesi apapun. Maka diperlukan berbagai cabang keahlian untuk mendalaminya, untuk memahami dan menerapkannya. Para ahli tersebut dapat dibagi dalam dua golongan besar. Golongan pertama adalah mereka yang mendalami hukum dalam hubungan dengan kelakuan manusia, dan yang kedua memperhatikan segi intelektual  dan segi filosofis dari hukum. Yang kedua meliputi mereka yang mempelajari ilmu hukum, sejarah dan cara-cara pemerintahan dan juga sarjana antropologi yang mengkhususkan diri pada pendalaman cara-cara memcahkan sengketa yang dikenal oleh berbagai bangsa dibumi kita ini dan bagaimana mereka mepertahankan paling kurang satu tata politik.
Ahli hukum tampil pada waktu pihak-pihak yang berselisih mengenai hak-haknya dan malahan berselisih mengenai cara berlaku yang pantas. Para ahli hukum, pengacara dan hakim memecahkan kasus-kasus persengketaan. Sesuai dengan hukum tertulis atau tidak tertulis, dan sesuai dengan nilai-nilai yang lebih mendasar sifatnya, yang dianut dalam suatu masyarakat tertentu. Mereka bersama dengan banyak orang lain dalam masyarakat, berusaha untuk membatasi sebanyak mungkin pengaruh buruk dari gangguan yang terjadi akibat adanya sengketa dan kesukaran. Mereka jugalah yang merupakan penjaga nilai-nilai moral yang paling dasar dan prinsip-prinsip etis yang terdapat dalam kebudayaan yang bersangkutan. Dan seperti halnya dengan ahli-ahli yang bertugas menangani hal-hal yang berhubungan dengan moral, maka sering, mereka dicurigai. Ilmu hukum, dan antorpologi hukum, masing-masing dengan caranya sendiri, juga mempelajari hukum seperti halnya pengacara dan hakim. Namun mereka itu, tidaklah menghasilkan pengetahuan yang diterapkan manusia karena mereka hendak memahami cara masyarakat mempertahankan nilai-nilai dasar yang  dianutnya dan juga mengubah nilai-nilai tersebut.
Dengan demikian para sarjana antropologi hukum itu pertama-pertama perlu memperhatikan dua hal : ia harus menemukan dahulu, apa yang menurut ucapan suatu bangsa merupakan hal-hal yang pantas mereka lakukan. Dia akan menemukan bahwa ada bangsa yang sangat ketat menuntut dari warganya untuk berlaku menurut hal-hal yang digariskan dan ada bangsa yang lebih longgar, atau tidak terlalu ketat ; ada bangsa yang mempunyai norma tingkah laku yang tinggi ; ada pula yang mempunyai norma yang sama tapi tidak membuat tuntutan yang hampir sama. Ahli hukum dan ahli antorpologi hukum lebih banyak mempertahankan pranata-pranata yang ada dalam masyarakat, bagaimana masyarakat merumuskan pelanggaran terhadap hukum. Kalau di hubungkan hal ini dengan pemeo yang ada, maka pemeo orang gola menunjuk pada hukumnya para praktisi. Memang hukum dalam arti berbeda dari satu kebudayaan lain, sebagaimana bunglon. Sedangkan ucapan kedua yang mengatakan bahwa hukum adalah seluas hidup itu sendiri, menunjuk kepada segi dari hukum yang dipelajari oleh golongan disiplin kedua.
Dengan demikian ahli hukum dan ahli antropologi hukum tidaklah mendekati hukum yang berujud bunglon itu dari segi warnanya yang bisa berubah itu dan juga tidak mempelajari kemampuannya untuk dapat menyesuaikan warnanya dengan sekitarnya. Ahli hukum dan antropologi hukum mempelajari struktur bunglon itu, tulang-belulangnya, sistem peredaran darah dan mekanisme yang memungkinkan dia dapat berubah warna, dan bersatu dalam moralitas-moralitas.
Bila diperhatikan jenis masyarakat, termasuk yang masih sangat sederhana maka pranata melawan pelanggaran  norma yang paling umum adalah “ pertahanan diri”, “bela diri”. Dalam batas tertentu, maka setiap orang yang dilanggar wewenangnya, haknya pada umumnya oleh masyarakat diberi izin untuk memperbaiki hak / wewenangnya yang dilanggar. Dalam semua sistem modern, menjaga diri terhadap pencuri misalnya, adalah sesuatu yang diserahkan kepada perseorangan. Namu ada batas-batas dari penggunaan prinsip “ bela diri” ini. Bila ada suatu sistem polisi yang teratur, maka batas-batas dari wewenang “bela diri” itu dapat ditentukan secara lebih jelas dibandingkan dengan kalau sistem polisi itu tidak ada atau tidak kuat.
Suatu jenis tindakan balasan sosial yang lain terhadap pelanggaran norma ialah cara penyelasaian melalui pertandingan, yang terdapat di berbagai daerah dibumi ini. Contohnya yaitu perkelahian gladiator, dan cobaan atau ujia berat ( ordeal ). Sering juga diberi julukan bahwa pengadilan menyerupai situasi permainan atau situasi pertandingan. Satu bentuk tindakan balasan lain adalah rapat umum. Cara penyelesaiannya melalui rapat umum berbeda sekali dibandingkan dengan pengadilan. Pengadilan adalah badan khusus, yang tugasnya telah ditentukan dalam suatu sistem politik yang stabil. Tugasnya adalah menyelesaikan sengketa. Rapat umum tidak merupakan badan khusus, tetapi merupakan pertemuan dari para warga setempat.
Bila suatu tindakan sosial yang bersifat reaktif terjadi, maka sudah pasti bahwa suatu norma hukum dari masyarakat yang bersangkutan dilanggar. Tindakan balasan seperti yang diuraikan, yang meliputi pengadilan, dan sistem polisi, adu kekuatan dari gladiator seperti zaman romawi, ujian atau cobaan berat, rapat desa atau rapat dari masyarakat setempat, dan bela diri, adalah suatu cara yang dapat ditempuh untuk mulai menentukan suatu situasi sebagai situasi hukum. Bila tindakan balasan berhasil, tindakan itu kemudian diikuti oleh apa yang dinamakan “koreksi”. Perkataan koreksi mempunyai arti ganda yang cocok untuk digunakan bagi hal yang dimaksud, karena memang ada dua cara untuk mengadakan koreksi terhadap suatu tindakan penyelewengan norma. Pertama : orang yang melakukan pelanggaran, diwajibkan untuk melakukan tindakan sehubung dengan norma yang dilanggarnya, sesudah hal itu dilakukan, maka masyarakat setempat dapat berlaku seolah-olah pelanggaran itu terjadi. Cara koreksi dalam arti penjara, maka arti kedua inilah yang dimaksud. Dengan demikian kata koreksi itu sendiri berarti mengembalikan kepada situasi semula ( restitusi ) dan bila tidak mungkin, maka semacam pembayaran kembali ( retribusi ) harus dilakukan.
Ketiga tindakan sosial itulah yang menimbulkan perilaku hukum dalam setiap masyarakat : pertama pelanggaran norma atau ukuran baku bagi perilaku, kemudian tindakan balasan dan akhirnya koreksi. Para ahli hukum, para sarjana yang mendalami ilmu hukum dan ahli antorpologi semuanya mempelajari rentetan itu, tetapi mereka melakukannya untuk tujuan yang berdasarkan dan dengan cara yang agak berlainan. Para ahli antropologi hukum menganggap bahwa data untuk pelajarannya adalah norma yang ada dan tindakan yang merupakan lingkaran norma itu. 
Hukum itu memang mirip bunglon bila diperhatikan bahwa dia terdapat di berbagai masyarakat dan dia mengambil bentuk dan isi menurut kebutuhan masyarakat dimana dia berlaku. Namun dibawah kulit bunglon yang berubah-ubah terdapat sesuatu yang merupakan inti yang tidak berubah. Sifatnya yang bisa berubah itu justru merupakan sifat yang paling penting dan merupakan kekuatannya. Dari hukum itu walaupun beragam wajah penampilannya di berbagai masyarakat, yang paling penting untuk diperhatikan oleh ahli antorpologi  hukum ialah bagaimana caranya  suatu masyarakat menangani perselisihan dan kasus-kasus pertikaian. Artinya melihat bagaimana caranya lembaga-lembaga atau pranata yang berhadapan dengan penyelewengan-penyelewengan diorganisasikan sehingga penyimpangan dapat dikendalikan atau dibendung.
  By : Danny Haposan Sihombing, S.H

0 komentar:

Posting Komentar